Rabu, 24 Maret 2010

Perubahan

Saya begitu terkejut ketika mendengar pacar saya mengucapkan kalimat seperti ini,"Saya punya rencana, tapi kalau ternyata tidak diberikan, berarti Tuhan punya rencana lain yang lebih baik". Sebenarnya pernyataan yang singkat dan siapa saja bisa mengatakan hal tersebut. Tapi ketika pernyataan seperti itu diucapkan oleh pacar saya, itu menjadi hal yang berbeda.

Waktu bagi saya, merupakan hal yang relatif. Relatif karena tiap orang mempunyai pendapat masing-masing soal waktu. Contohnya saja, ada yang merasa waktu 3 bulan dalam berpacaran sudah cukup untuk saling mengenal satu sama lain, sehingga tidak heran banyak orang yang hanya dalam waktu 3 bulan, memutuskan untuk menikah. Namun saya yakin banyak juga yang berpendapat bahwa rentang waktu seperti itu sangat pendek, dan akan sulit untuk melakukan pengenalan yang mendalam terhadap seseorang, apalagi sampai memutuskan untuk menikah. Pasti dirasakan sangat singkat dan kurang waktunya.

Saya dan dia bila dihitung-hitung hingga saat ini baru menjalani hubungan selama 8 bulan. Menjadi 9 bulan apabila dihitung dari saat pertama kali bertemu. Selama waktu yang ada, intensitas pertemuan kami cukup tinggi dan banyak sekali waktu yang kami habiskan bersama. Dalam hubungannya dengan waktu yang saya jelaskan sebelumnya, di sini saya merasakan bersama dia selama 8 / 9 bulan ini seperti sudah bertahun-tahun menjalani suatu hubungan. Entahlah, tapi itu yang kami berdua rasakan. Kadang, kami sering menghitung-hitung waktu, dan ketika kami menengok ke belakang, ternyata disadari hubungan kami baru berjalan beberapa bulan, padahal yang kami rasakan seperti sudah melewati banyak kejadian.

Hubungan erat kaitannya dengan perubahan, karena saya yakin orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi sehingga menimbulkan berbagai modifikasi di masing-masing pihak. Saya dan dia benar-benar merasakan hal itu. Saya tidak menjadi diri sendiri atau justru saya menemukan diri saya, semuanya tergantung dari bagaimana kita melihat dan menyikapi proses dalam hubungan itu sendiri.

Dia pribadi yang berbeda. Kami mempunyai banyak kesamaan dalam hal minat, tapi kami berbeda. Dia sangat keras, teguh pada pendiriannya, dan sangat penting dalam menilai tugas dan tanggung jawab. Ketika dia sudah mempunyai rencana, dia kan berusaha bagaimana pun juga caranya agar rencana itu bisa terlaksana. Saya sendiri tipe yang lebih lembut, tidak begitu suka dengan kekerasan. Tapi entah kenapa justru perasaan match itu saya rasakan ketika saya berhadapan dengan dia. Semakin mengenalnya, saya mulai merasakan ada banyak perbedaan yang justru menjadi saling melengkapi.

Pertengkaran bukan tidak pernah terjadi, sering bahkan. Proses yang saya sebut proses modifikasi, ada sebagian kami yang harus mengikis yang lain, dia pada saya, dan saya terhadap dia. Salah seorang sepupu saya pernah mengatakan hubungan dua orang seperti dua kaki manusia. Ketika berjalan, bisa saling bersentuhan, bisa juga saling melukai. Keributan dalam hubungan, saya bayangkan seperti gesekan di antara kedua kaki yang bisa menimbulkan luka. Luka itu sendiri ada yang bisa langsung sembuh dan ada juga yang membutuhkan waktu, namun bagaimana pun luka tetap luka yang menimbulkan bekas. Benar-benar suatu analogi yang sesuai dalam suatu hubungan. (Great point sista'.. ;) )

Pertengkaran dalam hubungan kami itulah yang sedikit demi sedikit justru makin mendekatkan kami, dan makin membuat kami menghargai posisi masing-masing. Karena ketika bertengkar, kami mulai mengeluarkan kebutuhan kami, masing-masing hanya ingin menerangkan apa yang sedang terjadi dan bagaimana perasaan kami saat itu. Suatu hal yang tidak pernah saya lakukan di hubungan saya terdahulu. Pertengkaran itu membuat kami mulai melakukan modifikasi satu sama lain, kami melihat kebutuhan pasangan dan di bagian mana kami "missed". Kami mulai berusaha untuk mencari jalan tengah dan untuk mendapatkan "jalur" yang sesuai untuk berjalan.

Proses itu memang benar-benar menghasilkan sesuatu. Beberapa perubahan mulai terjadi, ketika dia dengan begitu saja bisa melunak. Sebagian hal tetap tidak bisa begitu saja dirubah. Namun yang saya lihat dan hargai adalah ketulusannya. Pendirian yang teguh ini bukan harga mati, ketika ada suatu hal yang memang baik sekalipun itu bukan hal yang dia suka, dia akan melakukannya. Ada banyak kejadian yang tidak bisa saya sebutkan, namun kejadian itu sangat merubah perspektif dan paradigma kami masing-masing.

Sepenggal kalimat yang saya dengar mungkin bermakna biasa bagi orang lain, tapi bagi saya, itu merupakan hal yang besar, karena saya melihat proses di belakangnya. Kalimat itu seperti suatu bentuk penyerahan diri total pada Tuhan. Kekuatan manusia yang dipakainya mulai hilang, digantikan dengan kekuatan Tuhan yang lebih besar. Tuhan tahu bagaimana perasaan saya, dan apa yang saya butuhkan dalam hubungan ini, dan saya dapat merasakan perlahan-lahan jalan itu dibukakanNya.

Perubahan tidak datang dengan tiba-tiba, perlu usaha untuk dapat melakukan itu, bahkan hanya untuk mendatangkan kemauan untuk berubah itu sendiri. Harapan saya hanya satu, bahwa biarlah hubungan ini terus berubah, ke arah yang baik tentunya. :)




Kamis, 04 Februari 2010

Grateful Living

"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu - 1 Tes 5 : 18 -"...

Ayat itu adalah ayat yang menjadi inspirasi ketika saya mempimpin pujian pada suatu kebaktian, tepat beberapa hari sebelum ayah saya meninggal dunia. Saya tidak tahu apa yang menginspirasi saya saat itu, tapi itu adalah hal yang muncul dari dalam hati saya, dan yang ingin saya bagikan kepada jemaat yang lain. Bersyukur dalam segala keadaan, baik itu keadaan yang baik maupun keadaan yang kurang baik. Bersyukur untuk hal baik yang terjadi adalah perkara yang mudah, meskipun kadang kebanyakan dari kita sering lupa bersyukur sekalipun hal yang baik sedang menjadi bagian kita. Tapi disini pertanyaannya adalah bagaimana sikap kita ketika menghadapi kejadian yang kurang baik, bagaimana ketika hal yang kita tidak inginkan terjadi, apakah kita bisa tetap mengucap syukur?

Hari itu hari Kamis, tanggal 17 April 2008. Saya terbangun sekitar jam 06.30 pagi, karena mendengar handphone saya berbunyi. Saya memang selalu menaruh handphone dekat dengan bantal, agar saya dapat dengan mudah mematikan bunyi alarm yang selalu berbunyi tepat jam 07.00 pagi. Saya menerima kabar dari paman saya di Palembang, yang hanya mengucapkan 1 kalimat saja, namun cukup untuk membuat pandangan saya menjadi gelap beberapa gradasi. "Papa kena serangan stroke lagi", begitulah kalimat yang diucapkannya.

Saya masih sempat berkata dalam hati setelah saya menutup telepon itu. Saya tidak ingat apakah itu berbentuk doa, atau hanya kalimat singkat yang saya ucapkan untuk menenangkan hati saya. Yang pasti saya berkata pada Tuhan. Di telepon, saya sudah tidak sempat lagi menanyakan kondisi papa. Yang ada dalam pikiran saya, hanyalah keinginan untuk segera memberi tahu mama kondisi papa saat itu. Saya langsung turun ke bawah, dan saya memberi tahu kabar tersebut kepada mama yang saat itu sedang menelpon seseorang. (ternyata itulah sebabnya paman menelpon ke handphone, karena telpon rumah sedang dipakai mama). Singkat cerita kami semua bergegas untuk ke airport, agar mama bisa segera pulang ke Palembang. Rencana yang ada dalam pikiran kami hanya satu : menjemput dan membawa papa ke Jakarta untuk mendapatkan perawatan intensif. Mama dan kakak pertama saya yang akan berangkat untuk menjemput papa.

Selama dalam perjalanan ke airport, kabar keadaan papa yang kami terima sangat tidak menyenangkan. Kondisi papa sudah drop sehingga menyebabkan dia tidak sadarkan diri. Saat itu kami terus berdoa dan berharap agar ada perubahan pada kondisi kesehatan papa. Namun kabar terakhir yang kami terima adalah papa sudah dalam keadaan koma. Kami pun banting setir dan mencari rencana lain, kami berencana membawa papa ke Singapore untuk mendapatkan perawatan yang lebih canggih dan lebih terpercaya lagi. Karena mama dan kakak pertama saya sudah berangkat lebih dulu, saya lah yang bertugas untuk pulang kembali ke rumah, mengambil passport dan semua dokumen pendukung, kemudian berangkat ke Palembang.

Pesawat khusus dari rumah sakit di Singapore sudah dipesan dan sudah dalam perjalanan ke Palembang. Suatu pertolongan Tuhan yang luar biasa saya rasakan adalah ketika saya bisa mendapatkan tiket penerbangan, padahal saya baru tiba di airport setengah jam sebelum pesawat take off. Setelah pembicaraan yang alot, saya berhasil mendapatkan tiket karena seorang teman papa telah membantu memesan pesawat itu untuk saya secara online. Saya menjadi penumpang terakhir yang masuk ke pesawat. Selama dalam pesawat jujur perasaan saya sudah tidak enak. Semua memori bersama papa terlintas berkali-kali, tapi yang mengherankan saya tidak bisa menangis saat itu. Saya cukup tenang, karena dalam hati saya percaya bahwa Tuhan sedang mengurus segala sesuatunya.

Saya hanya ditugaskan untuk menunggu di airport setibanya di Palembang, karena seseorang akan membantu saya untuk mengurus segala dokumen yang diperlukan untuk keberangkatan papa ke Singapore. Saya menunggu beberapa saat ketika ada seseorang yang datang untuk mengambil passport dan semua dokumen lain. Kemudian saya menunggu sangat lama hingga ada telepon dari kakak saya yang mengabarkan kalau akan ada seseorang yang menjemput saya untuk membawa saya ke rumah sakit.

Saya sempat bingung kenapa saya harus ke rumah sakit, sementara pesawat sudah dalam perjalanan ke airport.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, saya menerima banyak sms dukacita dari saudara dan kerabat. Di tengah kebingungan, saya menghubungi kakak saya yang ada dirumah sakit, dan kakak saya hanya bisa mengatakan,"Kamu yang kuat yah..."

Saya ingat bayang-bayang lorong rumah sakit, kumpulan orang-orang yang berdiri berderet-deret di lorong rumah sakit dengan mimik muka mereka yang beragam. Ada yang takut, ada yang melihat saya dengan sedih, ada yang kasihan, ada yang bingung, semua ekspresi negatif. Saya tersadar dengan kondisi sedang berbaring di sofa, persis di samping tempat tidur papa di rumah sakit. Ternyata sesampainya di rumah sakit, saya tidak sadarkan diri.

Mama hanya bisa duduk diam, terlalu shock untuk menangis keliatannya. Perasaan saya tidak jelas, semuanya seperti mimpi. Terlalu banyak hal yang terjadi dari pagi sampai siang itu. Sms yang masuk terlalu banyak, saya hanya bisa melihat pengirimnya, hampir semua kerabat sudah mengetahui berita dukacita itu. Orang-orang yang sudah berkumpul sangat banyak, semuanya memang sudah datang sejak papa dirawat. Semuanya menunjukkan simpati dan segala bantuan yang bisa mereka berikan. Dokter dari Singapore yang sudah terlanjur datang sempat melakukan pemeriksaan, untuk sebagai bagian dari resume medis mereka. Saya hanya berpikir begitu terbatasnya manusia, sehebat apapun tidak bisa lari dari hal ini, dan secanggih apapun dokter yang datang tidak ada yang bisa menyelamatkan manusia.

Saya tidak bisa tidur sama sekali malam harinya. Terlalu banyak yang saya pikirkan, masa depan, rencana-rencana yang akan saya lakukan, kejadian-kejadian di masa lalu. Semuanya benar-benar menghancurkan keinginan saya untuk tidur sekalipun saya sudah sangat lelah. Kebaktian penghiburan yang dilakukan sangat mengharukan, kebanyakan yang hadir menangis. Bahkan orang yang tidak pernah saya bayangkan bisa menangis, ia menangis ketika menyalami saya. Semuanya benar-benar seperti mimpi. Saya masih belum bisa memetakan seluruh kejadian hari itu dalam pikiran saya.

Keberangkatan jenasah papa dilakukan pagi-pagi buta keesokan harinya. Semuanya sudah berkumpul untuk mengantarkan papa. Mama saya sempat berkata, hampir sebagian besar hidupnya, papa menghabiskan waktu di pesawat, sampai di saat terakhirnya pun, papa tetap naik pesawat. Kami disambut pelukan dan tangisan dari semua keluarga besar. Saya tidak tahu bagaimana mereka semua bisa masuk, yang jelas begitu sampai, mereka semua sudah menunggu di tempat pengambilan bagasi. Semua langsung menuju ke rumah duka.

Pada saat kebaktian terakhir sebelum peti ditutup, saya maju untuk memberikan testimony. Di testimony itulah, saya merasakan kekuatan yang luar biasa dari Tuhan. The power of gratitude. Bagaimana ketika saya tetap memilih untuk bersyukur dan Tuhan memilih untuk memberikan kekuatan dan jalan keluar buat saya. Saya yakin bahwa semua datang karena suatu alasan, dan karena itulah saya yakin bahwa Tuhan mempunyai maksud yang baik melalui dipanggilnya papa. Selesai kebaktian, saya menerima beberapa sms yang mengatakan bahwa mereka dikuatkan dengan testimony saya. Ada yang hubungan dengan orangtua nya dipulihkan karena ia sadar bahwa semuanya akan terlambat apabila orangtua kita sudah dipanggil Tuhan, maka saat itu juga ia merubah sikap hatinya dan melakukan pemberesan dengan orang tuanya. Double blessings menjadi bagian saya.

Sampai saat ini pun, ketika saya mengingat peristiwa ini, saya tetap mengucap syukur. Kehidupan saya berubah total, itu jelas. Namun perubahan yang terjadi sungguh baik menurut saya dan perlindungan Tuhan saya rasakan luar biasa. Rencana yang sudah saya persiapkan sebelumnya, memang tidak bisa dilakukan, namun Tuhan mengganti rencana itu bahkan dengan rencana yang lebih indah lagi. Berbagai penundaan memang harus terjadi, namun semuanya juga membawa saya kepada suatu kehidupan dan jalan yang lebih baik.

Kehidupan ini sangat singkat, dan saya ingin menjalani hidup dengan mengisi hati dan pikiran saya dengan hal-hal yang positif. Saya masih terus berusaha menyelami isi hati Tuhan dalam hidup saya dan tetap bersyukur atas semua perbuatanNya dalam hidup ini. Because living in gratitude really give you power to live. :)


Senin, 25 Januari 2010

My new name

My New Name

Saya pernah mendengar adanya suatu tradisi yang harus dilakukan ketika seseorang akan mengganti nama mereka, tradisi potong kambing. Saya sendiri tidak melakukan itu ketika nama baru ini diberikan kepada saya, karena memang saya tidak mengganti nama saya dengan yang sudah ada. Nama Phoebe diberikan kepada saya sebagai tanda bahwa saya telah dibaptis. Phoebe sendiri mempunyai arti yang bagus dan mulia, yaitu penolong pekerjaan Tuhan. Saya menyadari adanya perbedaan dibandingkan dulu ketika saya tidak mengetahui arti dari nama asli saya. Sungguh menyedihkan.

Nama asli saya sendiri mempunyai cerita yang cukup unik, nama saya diberikan oleh seseorang yang sering disebut oleh masyarakat dengan sebutan "orang pintar". Orang pintar ini memang sudah menjadi kenalan bahkan kerabat dengan keluarga saya, namun herannya dari ketiga anak orang tua saya, hanya saya saja yang diberikan nama oleh orang pintar itu.

Pada saat itu keluarga saya memang masih percaya pada hal-hal gaib sehingga mereka juga masih sering meminta bantuan dan nasehat dari orang pintar. Namun setelah kami sekeluarga mengenal dan percaya pada Tuhan, saya pun mulai mengkhawatirkan diri saya karena menurut saya nama yang diberikan oleh orang-orang dengan kuasa gaib, bisa membawa hal-hal yang gaib juga ke dalam hidup saya. Saya langsung berkonsultasi dengan pendeta, dan menurut beliau asalkan sudah menerima Tuhan sebagai juru selamat dan dengan sungguh-sungguh percaya, tidak akan ada masalah dan nama itu tidak akan memberikan pengaruh apapun. Tenanglah hati saya saat itu.

Nama asli saya sangat unik, dan seumur hidup saya belum pernah ada orang yang mempunyai nama yang sama dengan saya. Seperti bahasa Jepang apabila diucapkan. Karena itu lah orang yang baru pertama kali mendengarnya, sering tidak kuasa untuk bertanya arti dari nama saya tersebut. Dan setiap kali pula saya selalu bingung untuk memberikan jawaban. >.<

Ibu saya pernah saya desak untuk memberi tahu arti nama saya, karena menurut saya tidak mungkin orang tua langsung menerima nama untuk diberikan kepada anaknya, sekalipun pemberi nama itu adalah orang kepercayaan. Dan ibu saya hanya memberikan sedikit petunjuk, karena menurutnya orang pintar itu memang tidak pernah menjelaskan secara detail arti nama saya. Menurut ibu, nama saya memang sengaja dibuat mirip seolah-olah seperti nama Jepang, karena orang Jepang biasanya tipe yang hardworking, cekatan dan pintar. Saya diharapkan dapat tumbuh menjadi anak seperti itu. Pada kenyataannya, memang saya tumbuh menjadi anak yang seperti itu, saya senang bekerja, senang bangun pagi, selalu berusaha untuk mengerjakan segala sesuatu dengan cermat dan cepat, gesit istilah orang-orang yang diberikan kepada saya.

Kadang kala saya suka berpikir apa memang sebesar itu arti sebuah nama, dalam pengaruhnya kepada penyandangnya? Hal ini sering membuat saya berpikir dan merenungkan, dan memang hal ini sendiri terjadi di diri saya, tapi hanya ketika saya mengetahui arti dari nama tersebut. Saya menjadi termotivasi karena ada dorongan untuk mewujudkan harapan dan maksud dari nama yang berikan kepada saya.

Nama baru saya, sebenernya diberikan beberapa bulan setelah ayah saya meninggal, dan nama itu membuat saya makin percaya pada keberadaan Tuhan. Karena beberapa hari sebelum nama itu diberikan saya mengikuti sebuah retret dimana saya mendapatkan ilham yang sama dengan arti dari nama baru saya. saat retret saya ingin agar kehidupan saya dapat menolong pekerjaan Tuhan. Dan saat kembali saya mendapat peneguhan mengenai hal yang sama dari arti nama saya. Saat ini saya hanya ingin mengajak untuk merenungkan, arti sebuah nama. Memang sering kali kita dengar apalah arti sebuah nama, tapi ketika kita mengetahui arti dari nama kita, atau maksud orang tua memberikan nama kita, setidaknya itu dapat menjadi motivasi bagi kita untuk menjadi lebih baik lagi. Karena setiap orang tua memberikan nama pastilah dengan tujuan yang baik dan selalu disertai dengan harapan dan doa agar anaknya sesuai dengan arti dari nama yang diberikan tersebut.


Regards,
Phoebe.